Hasil panen singkong yang melimpah di Wonogiri namun harga jualnya rendah, menginspirasi Wiridan Jumadiarto membuat gebrakan. Ia melakukan uji coba, hingga berhasil menciptakan tepung Wonocaf. Tepung ini bisa menjadi alternatif, karena tekstur dan rasanya seperti terigu.
Gambar Tepung Singkong |
Nama Wiridan Jumadiarto tak asing lagi di telinga warga Wonogiri. Ini berkat inovasi tepung singkong Wonocaf - singkatan dari Wonogiri Cassava Fermentation - buatannya. Wonocaf telah menjadi terobosan dalam bidang pangan. Ia sukses mengolah singkong menjadi tepung yang memiliki karakter layaknya terigu.
Kisah suksesnya menciptakan tepung singkong Wonocaf berawal dari keprihatinannya melihat hasil panen singkong warga, yang harganya murah. Ini terjadi karena hasil panen singkong dijual tanpa diolah, keuntungan petani pun tipis. "Saya terinspirasi menciptakan inovasi tepung singkong berkualitas bagus, supaya bernilai jual lebih tinggi," cerita pria kelahiran Wonogiri 53 tahun silam ini.
Memang, selama ini, lulusan IAIN Jakarta ini pun sudah berkecimpung di bisnis olahan singkong yang merupakan warisan dari keluarganya.
Awalnya, tekstur tepung singkong yang ia produksi masih jauh berbeda dengan tepung terigu. Butiran-butiran tepung singkong yang ia hasilkan lengket dan menggumpal. Ia pun bertekad menciptakan inovasi tepung singkong unggulan yang bisa menjadi pengganti terigu.
Sejak 2008, pria yang akrab disapa Jumadiarto ini mulai memutar otak untuk menghasilkan jenis tepung singkong yang memiliki tekstur seperti terigu. Tidak tanggung-tanggung, ia merogoh kocek hingga Rp 500 juta untuk melakukan penelitian dan percobaan. Rumahnya di desa Wonokarto, Wonogiri, disulap menjadi tempat kerja.
Proses uji coba terus dilakukan terhadap resep yang diwariskan keluarganya. Usahanya tak sia-sia. Dua tahun berselang, ia berhasil menciptakan enzim khusus yang bisa membuat tepung singkong bertekstur mirip terigu. Maka, lahirlah tepung singkong Wonocaf yang memiliki rasa seenak terigu. Bahkan, kandungan karbohidratnya lebih tinggi ketimbang terigu, namun harganya lebih terjangkau.
Ia pun mematenkan temuannya dengan nama Wonocaf. Setelah dipasarkan, inovasi tepung singkong Wonocaf mendapat sambutan hangat dari warga Wonogiri, bahkan hingga luar kota. Kini, banyak agen dari wilayah Jawa Tengah yang memasarkan produk Wonocaf. Bahkan, ada jaringan hotel di Jakarta yang rutin membeli Wonocaf.
Jumadiarto mengemas Wonocaf dalam ukuran 1 kilogram (kg) dan 25 kg. Ia membanderol Wonocaf seharga Rp 7.000 per kilogram. Bandingkan, dengan harga tepung terigu yang mencapai Rp 10.000 per kg. Tak hanya memproduksi wonocaf, Jumadiarto juga mengolah tepung buatannya itu menjadi roti dan panganan kue lainnya.
Saban bulan, Jumadiarto mampu memproduksi hingga 9 ton Wonocaf. Namun, kemampuan memproduksi Wonocaf masih bergantung pada kondisi alam. Maklum, penjemuran singkong masih menggunakan cara tradisional, yaitu dikeringkan di bawah sinar matahari. Rata-rata, dari bisnis tepung Wonocaf ini, ia bisa meraup omzet berkisar Rp 63 juta-Rp 100 juta tiap bulan.
Bekal warisan keluarga
Menjadi ilmuwan dadakan dilakoni Jumadiarto demi menemukan formula yang tepat dalam membuat tepung singkong yang memiliki rasa seperti terigu. Setelah dua tahun berjuang, ia berhasil menemukan Wonocaf.
Nama Wonocaf alias Wonogiri cassava flour mulai populer di kalangan warga Jawa Tengah, bahkan di beberapa wilayah Indonesia. Meski berbahan singkong, tekstur dan rasanya menyerupai terigu, sehingga pemanfaatannya lebih variatif bisa seperti terigu. Namun, perjalanan Wiridan Jumadiarto hingga menghasilkan Wonocaf tidak mudah.
Selama dua tahun sejak 2008, ia terus melakukan penelitian, trial and error untuk menemukan enzim dan formula yang tepat. Semuanya dilakukan secara otodidak, hanya berbekal pengetahuan cara pengolahan tepung dan fermentasi secara tradisional dari warisan keluarganya.
Usahanya membuahkan hasil pada 2010. Pria yang akrab disapa Jumadiarto ini menemukan enzim yang diberi nama WRD751WNG. Berkat enzim ini dan formula campuran yang tepat, lahirlah Wonocaf. "Jika menggunakan enzim buatan ITB dan UGM, formula adonan harus didiamkan tiga hari tiga malam, enzim buatan saya hanya 10-12 jam saja," bebernya.
Selain memakan waktu lebih singkat, biaya pembuatan tepung ala Jumadiarto pun lebih efisien dan ramah lingkungan, karena air yang dibutuhkan lebih sedikit. Biasanya, proses pembuatan tepung singkong memerlukan banyak air, namun tidak dengan Wonocaf yang justru tidak butuh air.
Ia menuturkan, setidaknya, ada tiga tahap pembuatan Wonocaf, yaitu pembersihan singkong, pemarutan, dan fermentasi. Singkong yang menjadi bahan baku dikupas dan dibersihkan. Setelah bersih, diparut dan ditambahkan enzim temuannya untuk difermentasikan.
Jumadiarto mengaku, sekarang belum banyak yang menggunakan Wonocaf, karena tidak paham cara mengolah tepung ini menjadi makanan. Menurutnya, perlu edukasi sekaligus dalam memasarkan dan mempopulerkan temuannya ini. Makanya, pada tahun 2010, ia membuat pelatihan cara pengolahan tepung Wonocaf di Wonogiri.
Kemudian, pada 2012, ia juga menyelenggarakan event berupa perlombaan membuat olahan makanan dari tepung singkong. "Semua saya lakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa tepung ini bisa diolah menjadi penganan yang bervariasi dan lezat," tutur Jumadiarto.
Belakangan, media juga rajin meliput usaha Jumadiarto dalam memproduksi dan mengolah Wonocaf. Tak heran, hasil inovasinya mulai dikenal di beberapa wilayah di Tanah Air.
Ia pun masih tetap rajin menggelar pelatihan mengolah Wonocaf, sekarang kegiatan pelatihan sudah sampai ke Wonosobo dan Sragen. "Target saya, seluruh Indonesia bisa mengenal tepung ini dan bisa mengolahnya," ucap Jumadiarto.
Sejatinya, perjuangan Jumadiarto dalam menciptakan Wonocaf mendapat cibiran dari orang-orang di lingkungan sekitarnya. Awalnya, warga menganggap remeh, lantaran Jumadiarto bukanlah peneliti atau ilmuwan dari perguruan tinggi ternama. Mereka pesimistis, pria lulusan IAIN Jakarta ini bakal bisa menciptakan inovasi tepung singkong.
Namun anggapan tersebut berhasil dipatahkan pria 50 ini. Ia sukses menjadikan Wonocaf tepung unggulan dari Wonogiri.
Limbah untuk pupuk
Jumadiarto masih punya banyak impian untuk Wonocaf. Ia ingin, tepung hasil temuannya itu menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia.
Menurutnya, Wonocaf layak menjadi unggulan, lantaran punya banyak kelebihan, seperti mengandung karbohidrat kompleks, rendah gula, dan non gluten. "Tepung singkong ini lebih sehat dibandingkan tepung terigu," ucapnya.
Makanya, ia bertekad lebih gencar mempromosikan tepung tersebut ke berbagai daerah melalui ajang pameran. Sekarang, Jumadiarto pun mengolah Wonocaf menjadi produk mi instan. Ini dilakukannya demi menjangkau lebih banyak konsumen.
Saat mengikuti pameran inovasi Indonesia sekitar tiga tahun silam, pria asli Wonogiri ini mampu menyedot perhatian para pengunjung melalui berbagai olahan makanan dari Wonocaf. Walhasil, temuannya itu mendapat apresiasi berupa bantuan dana dari Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan dana itu, ia semakin mantap untuk merealisasikan pembuatan mesin Wonocaf rancangan sendiri.
Harapan jangka panjang, Jumadiarto ingin lebih serius mengembangkan bisnis Wonocaf ini dengan melibatkan petani di lingkungan sekitarnya. Ia bermaksud mendirikan koperasi dengan bisnis utama produksi dan pemasaran Wonocaf. "Di Jepang, bahkan industri otomotifnya berawal dari koperasi. Saya mau membuat seperti itu di sini," bebernya.
Sejatinya, penemuan Wonocaf dan rencana pembentukan koperasi itu sekaligus menjadi kritik bagi pemerintah. Menurut Jumadiarto, selama ini, regulasi yang dibuat pemerintah tidak pro terhadap petani, dan cenderung membela pengusaha besar.
Memang, lahirnya Wonocaf berawal dari kemirisan Jumadiarto melihat hasil panen singkong petani di Wonogiri yang melimpah, namun tidak berhasil memberikan penghidupan layak bagi petani. Hasil panen terpaksa dijual murah ke tengkulak.
Dia melihat campur tangan pemerintah dalam mengedukasi petani soal mengolah singkong, sangat minim. "Makanya, saya tergerak menciptakan produk inovatif dari singkong," tukas pria lulusan IAIN Jakarta ini.
Tak hanya meningkatkan kesejahteraan petani, Jumadiarto juga sangat memperhatikan lingkungan hidup. Makanya, ia memaksimalkan penggunaan singkong dan memastikan tidak ada bagian yang terbuang percuma dalam proses produksi Wonocaf.
Wonocaf sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu golongan super dan ampas fermentasi. Golongan super berasal dari singkong yang difermentasi hingga menjadi tepung singkong. Kemudian, ampasnya difermentasi lagi hingga menghasilkan tepung golongan dua.
Selanjutnya, limbah terakhir dari pembuatan Wonocaf diolah menjadi pupuk organik cair dan bioetanol. "Jadi, tidak ada yang terbuang," imbuhnya.
Jumadiarto ingin memastikan keuntungan yang didapatnya tidak mengorbankan kearifan alam, tapi justru mendukung kelestarian.
Posted by 23:32 and have
0
komentar
, Published at
No comments:
Post a Comment